Para penjelajah luar angkasa terpaku dalam diam. Tak satu pun dari mereka menyangka, misi menyerbu balik makhluk Mars justru mengungkap sesuatu yang jauh lebih menggiurkan: emas. Jumlahnya luar biasa banyak. Lokasinya? Tepat di bawah telapak kaki mereka.
“Aku tak akan pernah melupakan kilau menakjubkan itu, atau kekaguman yang sontak meledak dari mulut kami, saat warna keemasan menyembul dari balik lapisan debu bintang,” tulis buku Edison’s Conquest of Mars karya Garrett P. Serviss yang diterbitkan pada 1898.
Mereka berdiri di atas asteroid kecil dengan diameter sekitar 8 kilometer. Bukan bola emas solid, melainkan gumpalan logam campur yang saling melekat karena gravitasi. Tak perlu alat berat, para penjelajah dengan mudah memungut serpihan emas dan logam mulia lainnya yang tersebar.
Meski cerita ini fiktif, penulisnya bukan sembarang orang. Garrett adalah seorang jurnalis sekaligus astronom lulusan Cornell University. Seperti banyak kisah fiksi ilmiah di masa lalu, tidak sedikit yang berubah menjadi inspirasi masa depan. Bukan soal alien-nya, tentu saja, melainkan ide soal tambang emas antariksa.
Munculnya Nama Psyche
Jauh sebelum fiksi itu lahir, tepatnya pada 17 Maret 1852, Annibale de Gasparis, astronom asal Italia, menemukan asteroid di antara orbit Mars dan Jupiter. Batu langit tersebut dinamakan Psyche, diambil dari nama dewi dalam mitologi Yunani. Karena merupakan temuan ke-16, ia pun dikenal sebagai 16 Psyche.
Psyche tidak serta-merta menarik perhatian dunia. Wujudnya yang acak dan menyerupai kentang membuatnya tampak biasa saja. Tapi ukuran raksasanya, sekitar 280 km pada sumbu terpanjang, serta komposisinya yang dominan logam menjadikannya unik. Berbeda dengan mayoritas objek luar angkasa yang terdiri dari es, batu, atau gas, Psyche mengandung besi, nikel, emas, bahkan platinum.
Nilai total kandungan logamnya, menurut klaim awal, bisa mencapai USD 100 kuadriliun—angka fantastis yang bahkan sulit dibayangkan. Itu baru dari besinya saja.
Menggali Fakta Emas Antariksa di Balik Kilau Psyche

Namun, jangan buru-buru membayangkan pesta pora emas. Profesor Vishnu Reddy dari University of Arizona mengingatkan bahwa logam tidak memiliki sidik jari spektral khas. Artinya, kita hanya bisa menebak ada logam, tapi tak tahu pasti jenisnya.
Pada 2017, teleskop James Webb mengungkap bahwa permukaan Psyche mengandung molekul hidroksil—komponen pembentuk air—dan menunjukkan tanda-tanda karat, yang menguatkan bahwa batuan ini terbentuk dari logam.
Simulasi komputer dan analisis kawah-kawah di permukaannya dilakukan untuk memahami struktur dalam Psyche. Salah satu dugaan paling kuat datang pada 2020, saat Wendy Caldwell dari Los Alamos National Laboratory menyebut Psyche mungkin tersusun dari Monel, campuran nikel dan tembaga. Tapi, sekali lagi, belum ada konfirmasi.
NASA pun turun tangan. Misi pengiriman wahana ke Psyche diluncurkan Oktober 2023 dan dijadwalkan tiba pada 2029. Begitu sampai, alat-alat canggih seperti spektrometer, pencitra multispektral, dan magnetometer akan mengupas lebih dalam asal-usul dan struktur asteroid ini. Tujuan utama misi ini adalah menjawab pertanyaan besar: apakah Psyche merupakan inti dari planet purba?
Emas dari Langit Tak Lantas Murah

Kalaupun terbukti mengandung harta karun logam mulia, dampaknya bagi harga emas di Bumi tidak signifikan. Lokasinya terlalu jauh dan tak ada teknologi praktis untuk menambangnya saat ini. Seperti disampaikan oleh Philip Metzger dari University of Central Florida, biaya untuk membawa logam itu ke Bumi kemungkinan besar jauh lebih mahal daripada nilainya.
Namun, ia tetap yakin, masa depan penambangan asteroid bukan sekadar angan-angan. Dalam beberapa dekade, teknologi akan cukup matang untuk melakukannya, terutama pada asteroid yang lebih kecil dan lebih dekat ke Bumi.
Robot dengan kecerdasan buatan akan menjadi ujung tombak eksplorasi ini. Mereka sanggup bertahan dalam kondisi ekstrem, dari suhu ekstrem hingga radiasi tinggi, sambil bekerja tanpa lelah. Keberhasilan misi OSIRIS-Rex yang mengambil sampel dari asteroid Bennu pada 2023 menjadi dorongan besar. Menurut para ahli MIT, otomatisasi seperti ini bisa memangkas biaya hingga 30 persen dan membuka jalan bagi penambangan antariksa yang menguntungkan mulai tahun 2030.
Tak hanya emas, air dari asteroid juga bisa ditambang dan diubah menjadi bahan bakar roket. Beberapa perusahaan bahkan mengincar logam super mahal seperti platinum.
Eksplorasi vs Etika
Tentu saja, mengeruk harta dari luar angkasa bukan cuma soal teknologi dan biaya. Ada juga dimensi etika dan hukum yang belum terjawab tuntas. Berdasarkan Outer Space Treaty tahun 1967, negara tidak boleh mengklaim benda antariksa sebagai wilayahnya.
Namun, bagaimana dengan perusahaan swasta? Siapa yang berhak atas kekayaan luar Bumi yang mereka temukan? Inilah celah hukum yang belum jelas. Inisiatif seperti Artemis Accords mencoba menjembatani hal ini, dengan menekankan kerja sama internasional. Tetapi, siapa yang menjamin distribusi keuntungannya adil dan tidak hanya menguntungkan negara atau korporasi besar?
Masalah lain adalah dampak lingkungan. Tanpa regulasi global yang ketat, eksploitasi luar angkasa bisa mengulang kesalahan yang sudah kita lakukan terhadap planet ini—meninggalkan jejak kerusakan yang bahkan mungkin lebih parah.
Seperti dikatakan analis emas Ibrahim Assuaibi, meski teorinya menarik, proses mendapatkan emas dari luar angkasa tetap luar biasa rumit dan mahal. “Mau dari mana pun asalnya, entah dari Mars atau asteroid, emas akan tetap langka. Tetap jadi rebutan,” ujarnya.
Leave a Reply