WagonNews – Dunia dikejutkan oleh kabar duka dari Vatikan pada Senin pagi, 21 April 2025. Pemimpin spiritual umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, menghembuskan napas terakhir di usia 88 tahun. Kepergiannya meninggalkan jejak mendalam di hati jutaan umat yang selama ini mengikuti arahannya, baik dalam hal spiritualitas maupun kemanusiaan.
Paus Fransiskus, yang telah menjabat sejak 2013, sempat menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat pneumonia yang dideritanya pada awal tahun 2025. Selama lima pekan, ia bergelut dengan kondisi yang melemahkan itu. Hanya sehari sebelum wafat, ia masih menyempatkan diri hadir dalam misa Paskah, perayaan penting dalam kalender umat Kristiani. Dalam momen tersebut, ia menyampaikan khotbah menyentuh tentang pentingnya perdamaian dunia. Pesan terakhir yang ia bagikan seolah menjadi warisan spiritual yang ia tinggalkan bagi dunia yang kerap dilanda konflik.
Di hari yang sama, Paus Fransiskus juga menerima kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance. Keduanya sempat berbincang hangat di tengah perayaan keagamaan. Namun, pada pagi hari berikutnya, Paus Fransiskus dikabarkan mulai merasa tidak sehat. Tim medis pribadi segera memberikan perawatan, namun kondisinya terus menurun.
Dalam satu momen yang penuh emosi, beliau sempat memberikan isyarat perpisahan kepada salah satu perawat yang paling setia mendampinginya, Massimiliano Strappetti. Hanya berselang satu jam kemudian, Paus Fransiskus jatuh koma dan dinyatakan meninggal pada pukul 07.35 pagi waktu Vatikan.
Kabar kepergiannya menjadi duka global, termasuk bagi masyarakat Indonesia. Di tengah suasana berkabung, muncul pertanyaan yang menarik perhatian banyak orang: mengapa pemimpin tertinggi Katolik disebut dengan istilah “Paus”? Dari mana sebetulnya istilah ini berasal?
Menelusuri Jejak Istilah Pemimpin Paus

Dalam tradisi Gereja Katolik, gelar “Paus” melekat pada posisi tertinggi dalam struktur gerejawi yang diakui secara global. Namun, asal-usul dari istilah ini ternyata memiliki sejarah panjang dan sarat makna.
Kata “Paus” merupakan adaptasi dari istilah Latin papa, yang jika diterjemahkan berarti “ayah” atau “bapak”. Dalam konteks keagamaan, kata ini mencerminkan posisi sang pemimpin sebagai sosok ayah rohani bagi seluruh umat Katolik. Peran ini bukan hanya sekadar simbolik, melainkan mencakup tanggung jawab spiritual yang sangat besar.
Sebagai figur sentral, Paus memiliki fungsi yang melampaui sekadar memimpin doa atau menyampaikan khotbah. Ia adalah penjaga utama ajaran Gereja, simbol kesatuan umat Katolik, serta menjadi wakil Kristus di dunia. Posisi ini pun secara teologis dipercaya sebagai kelanjutan dari misi yang diemban oleh Rasul Petrus, murid utama Yesus Kristus.
Warisan Sejarah yang Mengakar
Gelaran “Paus” telah digunakan sejak abad ke-3, ketika para uskup di Roma mulai mendapatkan pengakuan yang lebih luas dalam hal kepemimpinan rohani. Meski pada masa-masa awal penggunaannya belum eksklusif, gelar ini kemudian diresmikan sebagai sebutan untuk pemimpin tertinggi Gereja secara global, terutama sejak masa kepausan Leo I pada abad ke-5.
Paus Leo I, atau yang juga dikenal sebagai Leo Agung, memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman tentang otoritas Kepausan yang kita kenal sekarang. Sejak saat itu, posisi Paus dianggap sebagai pewaris langsung dari Rasul Petrus — tokoh yang disebut dalam Injil sebagai batu karang tempat Gereja didirikan.
Gereja Katolik memandang keberlanjutan jabatan Paus sebagai bagian dari warisan apostolik, yang diwariskan dari satu Uskup Roma ke Uskup berikutnya melalui penunjukan resmi.
Dari Latin ke Nusantara

Menariknya, dalam konteks bahasa Indonesia, istilah “Paus” merupakan hasil serapan dari bahasa Belanda, yakni “de Paus”, yang setara dengan “Pope” dalam bahasa Inggris. Jejak kolonialisme Belanda di tanah air tampaknya ikut memberi warna terhadap penggunaan istilah-istilah agama yang kita kenal hari ini.
Walau sekilas terdengar sederhana, sebutan ini ternyata memuat kedalaman makna yang luar biasa. Ia bukan hanya mencerminkan jabatan administratif atau gelar kehormatan semata, tapi mengandung simbolisme hubungan antara umat dan pemimpinnya — layaknya anak kepada seorang ayah.
Lebih dari Sekadar Gelar
Dalam struktur Gereja Katolik, Paus adalah pemimpin tertinggi, tetapi juga merupakan penghubung spiritual antara langit dan bumi bagi umatnya. Ia diharapkan menjadi teladan dalam hidup, pelayan bagi kaum miskin, serta penjaga utama nilai-nilai keadilan dan perdamaian.
Paus Fransiskus sendiri dikenal luas karena kesederhanaannya, kepeduliannya pada lingkungan, dan sikap terbukanya terhadap isu-isu sosial. Ia menjadi simbol dari wajah Gereja yang modern, namun tetap berpijak pada nilai-nilai tradisional yang kokoh. Kini, ketika dunia mengenang sosoknya, penting bagi kita untuk memahami bukan hanya siapa yang telah tiada, tapi juga makna dari jabatan yang ia emban. Kata “Paus” bukan sekadar nama, melainkan panggilan yang sarat makna — sebuah warisan spiritual yang telah melewati zaman demi zaman
Leave a Reply