Banjir Besar dan Badai Baru, Uji Ketangguhan Selatan Tiongkok

Banjir Besar

WagonNews – Rongjiang, Guizhou – 1 Juli 2025 – Bencana alam kembali melanda Tiongkok bagian selatan. Setelah banjir besar yang merendam wilayah Guizhou dan Guangxi selama akhir Juni, kini masyarakat harus bersiap menghadapi badai tropis kedua yang diperkirakan mendarat dalam beberapa hari ke depan. Situasi ini membuat jutaan warga hidup dalam ketidakpastian, sekaligus menjadi ujian besar bagi sistem kesiapsiagaan bencana negara tersebut.

Kronologi Bencana Banjir Besar yang Terjadi

Hujan deras yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut sejak 24 Juni telah membuat Sungai Duliu meluap secara ekstrem. Debit airnya tercatat mencapai lebih dari 11.000 meter kubik per detik—angka yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata aliran sungai di musim kemarau. Genangan air setinggi pinggang merendam pusat kota Rongjiang, memutus jaringan listrik, dan merusak ratusan rumah serta fasilitas umum.

Sebelumnya, wilayah yang sama telah diterjang topan Wutip pada pertengahan Juni. Topan tersebut menyebabkan sedikitnya lima korban jiwa dan memaksa lebih dari 300.000 penduduk mengungsi. Dampaknya belum sepenuhnya pulih ketika kabar datang bahwa sistem badai baru sedang terbentuk di Laut Tiongkok Selatan. Menurut prakiraan, badai tersebut akan mendarat pada 3 Juli di antara wilayah Hainan dan Guangdong.

Dampak Sosial dan Infrastruktur

Kementerian Manajemen Darurat Tiongkok melaporkan bahwa hingga akhir Juni, sedikitnya enam orang meninggal dunia di Guizhou akibat banjir. Lebih dari 80.000 orang telah dievakuasi ke lokasi-lokasi aman seperti sekolah dan pusat komunitas yang diubah menjadi tempat penampungan sementara. Jalan utama dan jalur kereta api yang menghubungkan Guizhou dan Guangdong juga terputus akibat tanah longsor.

Di wilayah Guangxi, ketinggian air sungai naik hingga empat meter melebihi batas aman. Pemerintah setempat telah mengeluarkan peringatan siaga satu untuk banjir susulan yang bisa terjadi dalam 48 jam ke depan. Transportasi barang dan distribusi makanan pun terhambat, terutama ke wilayah pedalaman yang sebelumnya sudah mengalami kekurangan.

Analisis Penyebab Banjir Besar: Kombinasi Faktor Iklim dan Urbanisasi

Para ahli iklim menyebut peristiwa ini sebagai hasil dari apa yang mereka sebut sebagai “risiko majemuk”. Kombinasi antara perubahan iklim global, fenomena El Niño moderat, serta urbanisasi masif telah menciptakan kondisi yang memperparah dampak bencana.

Suhu permukaan laut yang lebih hangat dari biasanya menyebabkan peningkatan kelembapan udara. Hal ini memperkaya sistem badai dengan uap air yang memicu hujan lebat. Di sisi lain, pesatnya pembangunan di kota-kota kecil seperti Rongjiang membuat permukaan tanah tertutup beton, sehingga air hujan tidak dapat meresap dan langsung berubah menjadi limpasan yang mempercepat banjir.

Selain itu, banyak bendungan dan sistem drainase yang dibangun beberapa dekade lalu tidak lagi mampu mengatasi pola cuaca ekstrem saat ini. Perubahan iklim yang tak menentu membuat sistem pengendalian air tradisional rentan kolaps saat dihadapkan pada intensitas hujan yang lebih tinggi dari normal.

Respons Pemerintah dan Inovasi Penanggulangan Banjir Besar

Pemerintah pusat Tiongkok telah menggelontorkan dana darurat sebesar 200 juta yuan untuk menangani bencana ini. Sebagian besar dialokasikan untuk perbaikan jaringan listrik di Guizhou dan distribusi bantuan logistik ke Guangdong serta Hunan.

Tim SAR gabungan yang terdiri dari militer, pemadam kebakaran, dan relawan sipil dikerahkan ke berbagai lokasi kritis. Mereka menggunakan perahu karet, drone pencitraan udara, dan pompa bertekanan tinggi untuk mempercepat proses evakuasi serta penyaluran bantuan. Namun, sistem koordinasi antarprovinsi masih terhambat oleh keterbatasan data waktu nyata dan komunikasi lintas wilayah.

Di tengah situasi ini, beberapa daerah mulai menerapkan pendekatan teknologi baru untuk mengurangi risiko. Di kota Meizhou, Guangdong, sistem bendungan pintar mulai diuji coba. Bendungan ini mampu membuka pintu air secara otomatis jika volume air melebihi ambang batas. Hasil uji coba tahun lalu menunjukkan bahwa teknologi ini mampu menurunkan tinggi genangan banjir hingga 20 sentimeter di area jalan utama.

Dampak Jangka Panjang dan Harapan Pemulihan

Di balik bencana, muncul pula kekhawatiran atas dampaknya terhadap masyarakat rentan. Banyak keluarga petani di Rongjiang yang kehilangan mata pencaharian akibat sawah dan kebun mereka terendam. Pusat pengungsian belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kebutuhan khusus, terutama untuk lansia dan penyandang disabilitas. Relawan melaporkan kelangkaan obat-obatan penting seperti insulin dan obat darah tinggi.

Melihat ke depan, badai tropis baru yang akan mendarat pada awal Juli dikhawatirkan memperburuk situasi. Meskipun kekuatannya diperkirakan tidak sebesar Wutip, potensi hujan tambahan tetap tinggi. Pemerintah mulai menurunkan permukaan air di bendungan besar seperti Longtan untuk memberi ruang pada aliran air baru yang diperkirakan datang dari hulu.

Sebagai langkah antisipasi, Kementerian Pertanian juga tengah mempercepat implementasi program asuransi berbasis indeks cuaca. Skema ini bertujuan melindungi pendapatan petani dari kerugian akibat gagal panen selama musim tanam kedua yang dimulai Agustus mendatang.

Penutup

Musibah banjir yang melanda selatan Tiongkok di tengah ancaman badai tropis kedua menjadi pengingat betapa pentingnya kesiapsiagaan yang terintegrasi. Perlu kerja sama lintas sektor dan lintas wilayah untuk memperkuat daya tahan masyarakat terhadap bencana yang semakin kompleks. Di tengah tantangan iklim yang kian tak menentu, solusi masa depan bukan hanya soal infrastruktur fisik, melainkan juga perlindungan sosial, teknologi adaptif, dan tata kelola yang responsif terhadap risiko baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *